Reyog Sardulo Condrodimuko Tampil di Panggung Nasional: Asa dari Balik Jeruji di IPPAFest 2025

Reog rutan Ponorogo bisa tampil di panggung nasional IPPAfest 2025

JAKARTA, SINYALINDONESIA
— Suara kendang dan gemerincing gemblung menggema di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pagi ini. Bukan dari grup seni biasa, melainkan dari balik proses panjang pembinaan dan harapan. Reyog Sardulo Condrodimuko—kelompok seni yang digawangi warga binaan Rutan Kelas IIB Ponorogo—resmi hadir untuk memeriahkan Indonesia Prison Product and Art Festival (IPPAFest) 2025.

Pukul 06.00 WIB, rombongan Reyog tiba. Di antara suasana Jakarta yang mulai padat, terlihat kesungguhan dalam setiap langkah mereka. 

Plt. Kepala Rutan Ponorogo, Jumadi, memimpin langsung keberangkatan ini. Ia menyampaikan laporan administratif kepada panitia penyelenggara begitu turun dari kendaraan. 

Tidak ada protokol yang dilonggarkan. Pemeriksaan identitas, pemasangan gelang elektrik, hingga koordinasi dengan keamanan gabungan dijalankan secara ketat.

Namun di balik semua itu, ada semangat yang membuncah. Tak menunggu lama, para penari, penabuh gamelan, dan kru pendukung langsung bergerak ke area pertunjukan. Mereka menggelar alat musik satu per satu, menyesuaikan posisi kendang, gong, dan demung. 

Gladi bersih dilakukan dengan penuh konsentrasi—mereka sadar, ini bukan sekadar tampil, tapi pembuktian bahwa pembinaan bisa berbuah karya.

Seni sebagai Jalan Pembinaan

IPPAFest 2025 bukan hanya festival. Ini adalah cermin dari pendekatan baru dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Bahwa seni dan budaya bisa menjadi media rehabilitasi yang kuat. 

Reyog, sebagai warisan luhur Ponorogo, menjadi medium yang tidak hanya mengasah keterampilan, tapi juga karakter.

“Reyog Sardulo Condrodimuko bukan sekadar pertunjukan seni. Ini simbol dari harapan, proses perubahan, dan bukti bahwa di balik jeruji, masih ada cahaya,” kata Jumadi kepada media. 

Ia menyebutkan bahwa proses pelatihan berlangsung berbulan-bulan di dalam Rutan, melibatkan pelatih dari luar, serta dukungan dari berbagai pihak di Ponorogo.

Nama "Sardulo Condrodimuko" sendiri bukan sembarangan. Diambil dari tokoh mitologis pewayangan, Condrodimuko adalah kawah tempat para ksatria ‘ditempa’. 

Sebuah metafora yang kuat tentang bagaimana Rutan tak hanya menjadi tempat pembinaan, tapi juga ‘kawah candradimuka’ bagi para warga binaan untuk lahir kembali sebagai insan yang lebih baik.

Kebudayaan yang Tak Mati

Reyog Ponorogo dikenal sebagai seni pertunjukan yang kompleks—menggabungkan tari, musik, kostum, dan kisah heroik. Kini, lewat penampilan warga binaan, Reyog mendapatkan makna baru: ia menjadi jembatan dari masa lalu menuju masa depan, dari keterkungkungan menuju keterbukaan.

Panitia IPPAFest menyampaikan bahwa jadwal Reyog Sardulo Condrodimuko yang awalnya pukul 15.30 WIB, dimajukan menjadi pukul 14.00 WIB. Masyarakat diimbau menyimak perubahan waktu agar tak melewatkan penampilan yang langka ini.

Bagi yang tidak bisa hadir langsung, Ditjenpas menyediakan live streaming melalui kanal YouTube resmi PASTV. Ini bukan hanya tontonan, melainkan pesan kuat bagi seluruh masyarakat bahwa pembinaan narapidana tidak melulu tentang pengasingan, melainkan pemulihan, dan seni bisa menjadi jalannya.

Ponorogo di Panggung Nasional

Bagi Ponorogo, partisipasi ini lebih dari kebanggaan. Ini adalah momentum pengingat bahwa budaya lokal bisa hidup di mana saja, bahkan di tempat yang sering dianggap gelap dan tertutup. Dengan tampil di IPPAFest, Reyog bukan hanya ditonton, tapi juga dipahami—bahwa kekuatan budaya bisa membebaskan, meski secara fisik masih terbelenggu.

Reyog Sardulo Condrodimuko membuktikan satu hal: dalam kondisi apapun, manusia tetap bisa berkarya, menjaga martabat, dan menjadi bagian dari solusi.

Penulis : Nanang 

0/Post a Comment/Comments

Dilihat :